Selasa, 21 April 2020

Perempuan di Hari Kartini

Perempuan oh perempuan, kalau sudah memasuki usia 21 tahun ke atas diharuskan untuk menikah, apalagi di Kecaman kampungku, menikah adalah sesuatu hal yang wajib, terserah dengan apa yang sedang ingin dicapai, pokoknya menikah adalah hal yang paling utama.

Aku, perempuan di usia 26 tahun, belum menikah, masih pengin berkarir, mencoba sesuatu hal, traveling, dan lain sebagainya, di Kecaman, bertemu dengan tetangga, teman-teman, atau bahkan keluarga sendiri, tahu apa yang mereka tanyakan, “Tina, kapan mau menikah, si Sania, Lia, Indah, bahkan Kiara sudah menikah, dan sudah mempunyai anak, kamu kapan menyusul? Ayolah jangan ditunda-tunda, nggak baik, jangan pilih-pilih, jangan karir terus yang dikejar, nanti tidak ada laki-laki yang mau.” Miris, ya pertanyaannya. Aku tahu, mereka hanya ingin basa-basi, akan tetapi, kok, ya, bikin suasana basi. Lalu, yang melontarkannya sesama perempuan lagi, entahlah. Pernah suatu ketika, aku melawan pertanyaannya, dengan menjawab, “kapan mati?” sadis, ya? Kesal, jadi, ya sudah kujawab dengan pertanyaan tadi saja. Tidak sopan? Biarkanlah, ini sudah menjadi pilihanku menjawab pertanyaannya.

Orang yang belum menikah sepertiku, dinilainya hina sekali, aku juga mempunyai hak, memilih apa yang kumau, kalau belum menikah, ya, memang belum waktunya saja, meskipun dari pihak keluarga memperkenalkan kepadaku, ditambah kalau Tuhan belum mengizinkan hatiku dan hatinya menyatu, aku bisa apa? Tekanan dari keluarga yang paling memilukan, mereka marah-marah, katanya aku tidak pernah mau mencoba membuka hati, mau apalagi yang ingin dicari, jangan begitu, perempuan ya kodratnya menikah, kamu harus menerima nasihat dari kami, lihat, mereka paling tahu banget, tentang urusan hati, ya, aku paham, mereka sudah mendahuluiku dalam hal pernikahan, akan tetapi, aku nggak setuju saja, aku harus menuruti kata mereka, aku punya hak memilih, aku punya keputusan sendiri, yang menjalani hidup kan aku, bukan mereka. Aku ucapkan terima kasih, yang sudah menasihatiku, kalau misalkan nasihatnya nggak mampu ku aplikasikan ke dalam kehidupanku, ya sudah, jangan memaksa, jangan melabeliku tidak bisa menerima nasihat, aku menerima nasihat, saran juga, tapi, kalau misalkan diriku nggak bisa menuruti nasihat kalian, ya sudah, terima saja, lagian beda visi misi, sudut pandang juga, ngapain harus memaksa?

Terkadang, aku bingung dengan orang-orang yang seperti ini, sesama perempuan, empatinya ditempatkan di mana? Jadi, ku ingat dengan pernyataannya Mbak Nana (Najwa Shihab), “Terkadang tanpa sadar atau bahkan secara sadar dilakukan, justru malah perempuan yang lebih sering menjatuhkan sesama perempuan lain.” 
  
Aku menghargai keputusan mereka yang sudah mendahuluiku ke jenjang pernikahan, ya, mungkin, memang itu rezeki mereka dari Tuhan, tapi, mengapa orang-orang yang sudah mendahului menikah itu, meremehkan sekali ke orang-orang yang belum menikah, sampai melabeli dengan lontaran yang tidak enak untuk didengar, apakah mereka kurang edukasi? Atau yang sudah diedukasi juga melakukan hal yang sama, ada? Banyak. Aku bingung menyebut ini dengan apa. 
  
Di hari ini, tepatnya di hari Kartini, aku berharap sebagai sesama perempuan, tidak ada lagi batasan dalam hal menuntut ilmu, menuntut untuk menikah, serta tuntutan-tuntutan lainnya, aku ingin, kita sama-sama saling mendukung, saling mengenggam, bukan saling menjatuhkan. Selamat hari Kartini, perempuan-perempuan hebat.