Senin, 07 Desember 2020

Kompetisi Menulis Artikel tentang Travel Stories

 Sudah lumayan lama, baru memulai menulis blog ini lagi, hehe.

Sebenarnya ini sudah diumumin dari beberapa bulan yang lalu, nggak menang memang, tetapi, nggak pa-pa dijadikan tulisan saja sebagai ingatan, dan belajar melatih story telling kembali. 

Jadi, pada tanggal 31 Agustus 2020 mencoba mengikuti kompetisi blognya dari RedDoorz, temanya itu tentang Travel Stories, gara-gara melihat postingan yang muncul di explore Instagram.

Berhubung mempunyai pengalaman Traveling yang menyenangkan, ku beranikan diri untuk mengikuti kompetisi ini.

Tanggal 8 September 2020, dapat surel, memberitahukan kalau artikelnya sudah di post. Senang? Banget. Tentunya dengan tulisan yang sudah diedit rapi oleh editornya. Terima kasih, Kakak Editor. 

Bersyukurnya adalah ketika diberi kesempatan oleh RedDoorz, kalau artikel yang kutulis itu tetap di post, meskipun tidak menang. Sangat menghargai sekali. Terima kasih, RedDoorz. 

Bagi yang ingin membaca artikelnya, boleh banget. Di sini, ya https://www.reddoorz.com/blog/id/places-to-visit/berawal-dari-mengagumi-artis-yang-sama-hingga-berakhir-dengan-cerita-bahagia 

Terima kasih, sudah meluangkan waktu untuk membaca blog dan artikel di atas. 

Kamis, 25 Juni 2020

Pemahaman Dari Sisi Penjual dan Pembeli

Waktu belum terjun ke dalam dunia bisnis, setiap kali ke toko maupun pasar, selalu menawar dengan harga rendah, sebenarnya si sedikit paham, ya, kalau menawar rendah itu nggak baik, tetapi, ya waktu itu barangnya butuh, uang adanya segitu, terus untuk kebutuhan yang lainnya juga. Ditambah, mama pekerjaannya di bidang bisnis, tetap saja ini dasar si Intan, ya, nggak ngeh sama sekali.

Seiring berjalannya waktu, ntah dapat ilham dari mana, eh nyemplung juga di dunia bisnis, mengikuti jejak mama. Memang nggak enak, ketika ada pembeli menawar dengan harga rendah, dibandingkan dari harga belinya.

Terus, mikir kan, "oh, gini ya rasanya, dapat perlakuan penawaran harga rendah seperti ini?"

"Lah, berarti nggak boleh nawar?" 

Boleh dong.

Tapi ya sewajarnya saja, jangan meminta harga rendah banget, karena, kita sebagai pembeli tidak pernah tahu keadaan si penjualnya lagi seperti apa. 

Saling membutuhkan dengan cara tidak saling merugikan satu sama lain.

Kalau belum mengalami, memang akan menganggap nggak peduli, jadi, harus mengalami terlebih dahulu, supaya bisa memahami. Teguran dan pembelajaran berharga buatku. 

Kamis, 04 Juni 2020

Pendengar sukar, berbicara lancar

"Kamu masih mending, aku lebih dari ini."

"Kamu enak, semuanya bisa teratasi."

Masih banyak pernyataan perbandingan pengalaman yang dialami oleh seseorang. Sudah berani bercerita akan kisahnya, akan tetapi, malahan diserang dengan pengakuan lawan yang menyimaknya. Jadi berpikir, "ini sebenarnya kamu yang ingin bercerita, apa aku?" 
Boleh saja kalau ingin bercerita dengan konflik yang berbeda, tapi, tolong dengarkanku terlebih dahulu.

Berbicara lebih mudah, dibandingkan dengan mendengarkan.

Apakah semua orang seperti itu? Tidak juga. Semoga, bukan kamu salah satunya, ya.

Minggu, 17 Mei 2020

Iqro

Tipe orang yang selalu melihat dari salah satu sudut pandang, membuat kesimpulannya ya hanya di titik itu saja. Coba kalau misalkan membaca narasi berbeda, pasti akan mendapatkan sesuatu yang lebih bermakna, ya meskipun tidak semua harus diikuti.

Terdoktrin dengan narasi yang dibuat oleh banyak pihak, mengatas namakan agama, lama-lama memandang sinis terhadap semua orang yang nggak sepemikiran. Sehingga menimbulkan perpecahan. Padahal semua agama mengajarkan kebaikan. Cuma ya itu, kalau hanya ada ego yang menguasai, jadinya tidak bisa terkendali.

Alhamdulillah, pelan-pelan bisa teratasi, dengan cara membaca diksi dari berbagai macam narasi. Ternyata, Tuhan sudah membukakan jalannya, semoga tidak terjadi lagi, dan menjalani suatu kewajiban yang sudah ditulis dari Yang Mahapasti. Aamiin.

Kuncinya hanya satu, iqro! Asli, kalau sudah iqro, insyaallah nggak terdoktrin dengan narasi yang mengarah ke hal-hal yang tidak diinginkan. Eh ingat, iqro pun, bukan hanya sekadar iqro saja, akan tetapi diteliti lebih dalam lagi, sehingga layak untuk dibagi. Bukan berarti yang sudah rajin iqro, menandakan kalau dirinya hebat, nggak. Hanya untuk berjaga-jaga, guna terciptanya sesuatu yang tidak menimbulkan kesalahpahaman.  

Selasa, 21 April 2020

Perempuan di Hari Kartini

Perempuan oh perempuan, kalau sudah memasuki usia 21 tahun ke atas diharuskan untuk menikah, apalagi di Kecaman kampungku, menikah adalah sesuatu hal yang wajib, terserah dengan apa yang sedang ingin dicapai, pokoknya menikah adalah hal yang paling utama.

Aku, perempuan di usia 26 tahun, belum menikah, masih pengin berkarir, mencoba sesuatu hal, traveling, dan lain sebagainya, di Kecaman, bertemu dengan tetangga, teman-teman, atau bahkan keluarga sendiri, tahu apa yang mereka tanyakan, “Tina, kapan mau menikah, si Sania, Lia, Indah, bahkan Kiara sudah menikah, dan sudah mempunyai anak, kamu kapan menyusul? Ayolah jangan ditunda-tunda, nggak baik, jangan pilih-pilih, jangan karir terus yang dikejar, nanti tidak ada laki-laki yang mau.” Miris, ya pertanyaannya. Aku tahu, mereka hanya ingin basa-basi, akan tetapi, kok, ya, bikin suasana basi. Lalu, yang melontarkannya sesama perempuan lagi, entahlah. Pernah suatu ketika, aku melawan pertanyaannya, dengan menjawab, “kapan mati?” sadis, ya? Kesal, jadi, ya sudah kujawab dengan pertanyaan tadi saja. Tidak sopan? Biarkanlah, ini sudah menjadi pilihanku menjawab pertanyaannya.

Orang yang belum menikah sepertiku, dinilainya hina sekali, aku juga mempunyai hak, memilih apa yang kumau, kalau belum menikah, ya, memang belum waktunya saja, meskipun dari pihak keluarga memperkenalkan kepadaku, ditambah kalau Tuhan belum mengizinkan hatiku dan hatinya menyatu, aku bisa apa? Tekanan dari keluarga yang paling memilukan, mereka marah-marah, katanya aku tidak pernah mau mencoba membuka hati, mau apalagi yang ingin dicari, jangan begitu, perempuan ya kodratnya menikah, kamu harus menerima nasihat dari kami, lihat, mereka paling tahu banget, tentang urusan hati, ya, aku paham, mereka sudah mendahuluiku dalam hal pernikahan, akan tetapi, aku nggak setuju saja, aku harus menuruti kata mereka, aku punya hak memilih, aku punya keputusan sendiri, yang menjalani hidup kan aku, bukan mereka. Aku ucapkan terima kasih, yang sudah menasihatiku, kalau misalkan nasihatnya nggak mampu ku aplikasikan ke dalam kehidupanku, ya sudah, jangan memaksa, jangan melabeliku tidak bisa menerima nasihat, aku menerima nasihat, saran juga, tapi, kalau misalkan diriku nggak bisa menuruti nasihat kalian, ya sudah, terima saja, lagian beda visi misi, sudut pandang juga, ngapain harus memaksa?

Terkadang, aku bingung dengan orang-orang yang seperti ini, sesama perempuan, empatinya ditempatkan di mana? Jadi, ku ingat dengan pernyataannya Mbak Nana (Najwa Shihab), “Terkadang tanpa sadar atau bahkan secara sadar dilakukan, justru malah perempuan yang lebih sering menjatuhkan sesama perempuan lain.” 
  
Aku menghargai keputusan mereka yang sudah mendahuluiku ke jenjang pernikahan, ya, mungkin, memang itu rezeki mereka dari Tuhan, tapi, mengapa orang-orang yang sudah mendahului menikah itu, meremehkan sekali ke orang-orang yang belum menikah, sampai melabeli dengan lontaran yang tidak enak untuk didengar, apakah mereka kurang edukasi? Atau yang sudah diedukasi juga melakukan hal yang sama, ada? Banyak. Aku bingung menyebut ini dengan apa. 
  
Di hari ini, tepatnya di hari Kartini, aku berharap sebagai sesama perempuan, tidak ada lagi batasan dalam hal menuntut ilmu, menuntut untuk menikah, serta tuntutan-tuntutan lainnya, aku ingin, kita sama-sama saling mendukung, saling mengenggam, bukan saling menjatuhkan. Selamat hari Kartini, perempuan-perempuan hebat.