Senin, 01 Februari 2021

Lomba Nasional Cipta Puisi 20 Kata dari Badan Sastra

    Pada tanggal 21 Desember 2020 melihat unggahan di Instagram @badansastra, lagi membuat acara Lomba Nasional Cipta Puisi 20 Kata. Awalnya ragu untuk ikut, tetapi, setelah dipikir-pikir, boleh juga deh dicoba. 


                                                         Sumber: Instagram Badan Sastra


Kuikuti syarat demi syarat yang diminta, lalu, kurangkai huruf demi huruf, yang ada di kepala, agar menjadi kalimat yang pas ketika dibaca.

Alhamdulillah, hari pengumuman pun tiba.

“Juara nggak?”

“Alhamdulillah nggak.”

Sebenarnya, nggak mikir ke arah menang ataupun kalahnya. Menang, Alhamdulillah, nggak menang juga nggak masalah, tetapi, lebih ke arah pengin coba sesuatu yang baru aja. Hehehe.

Yang aku suka dari ikut event ini adalah, para tim Badan Sastra mengapresiasi peserta yang nggak mendapatkan juara, misalnya, karyanya dibukukan dan ber-ISBN, dan dikasih sertifikat, itu menurutku sesuatu yang wah, jadi, bisa lebih membantu para peserta semangat dalam membuat karya-karya selanjutnya.

Terima kasih, Badan Sastra, Penerbit Meta, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, sudah mewadahi karya-karya kami dan dijadikan ke dalam buku. Sampai bertemu di lomba-lomba selanjutnya. Cheers!

                           Sumber: Foto pribadi, bersama buku dan sertifikat apresiasi

                                         

Badan Sastra

Penerbit Meta

Lomba Puisi 20 Kata

Tema Kehidupan
 


Sebuah Permainan Diksi yang Berisi, Membuat Jiwaku Kembali Terpenuhi

     Banyak buku self improvement  yang membahas tentang Quarter Life Crisis, di antaranya karya dari Kak Alvi Syahrin yang judulnya Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-apa, Filosofi Teras karya dari Om Henry Manampiring, Lo Ngerti Siapa Gue karya dari Sophia Mega. Tentunya mereka punya pendefinisian tersendiri. Setelah membaca karya dari mereka, aku mau menyimpulkan kalau Quarter Life Crisis (CLF) adalah suatu kejadian yang semua orang pernah mengalaminya. Kejadiannya apa saja sih? Banyak. Aku coba menguraikan beberapa sesuai pemahamanku, ya. Kebingungan dalam memilih, berlaku dalam hal apa pun, misalnya bingung mau bekerja sesuai pasion atau ikuti saja sesuai dengan background pendidikan semasa kuliah, SMA, bingung memilih jurusan kuliah, bingung mau mengambil kuliah atau bekerja dulu, dan masih banyak lagi, insekyur dengan teman-teman yang sudah lebih dulu meraih kesuksesannya, insekyur dengan kondisi tubuh yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di masyarakat, dan tidak tahu mau dibawa ke mana diri ini sebenarnya.

    Jangan salah, aku pun pernah mengalami Quarter Life Crisis (CLF) tersebut. Sempat hilang arah di masa memasuki dunia perkuliahan, dan setelah lulus dari sana, kemudian, di tempat bekerja pun mengalaminya, pokoknya bingung saja gitu mau mulainya dari mana. Aku melakukan rutinitas setiap hari seperti pada umumnya orang-orang lakukan, namun, hati dan pikiranku entah ke mana—kosong. Akhirnya salah satu hal yang harus kutempuh yaitu meminta tolong sama Tuhan, supaya dapat jawaban. Berhasil? Alhamdulillah, iya. Namun, nggak langsung hari itu juga, butuh proses lama, sekitar 3 tahunan lebih. Mau tahu jawaban yang dikasih Tuhan apa? Lewat buku dari mereka yang sudah kusebutkan tadi di atas. Aku baca bukunya, pelan-pelan dipraktikin, Alhamdulillah bisa bangkit dari itu semua. Tadinya, aku menjadi seseorang yang tidak percaya diri ketika melakukan sesuatu, salah satunya mengunggah foto ataupun karya di sosial media, pikiran jahatku membisiki, “fotonya nggak pantas-lah, badannya berisi, kok yang kasih tombol like sedikit banget, nggak jadi unggah karya deh, nanti takut banyak yang nggak suka, nanti dibilang pamer terus, halah foto apaan kayak gitu, mending simpan saja deh di galeri hp-mu.” Jahat banget ya, pikiran diri sendiri tuh. Sama jahatnya dengan mengambil kebahagiaan orang lain. Dan, aku nggak mau berlama-lama bersahabat dengan pikiran jahatku. Sampai suatu ketika, aku berani untuk mengunggah foto pribadi di Instagram, perjalanan traveling, berani mengulas buku bacaan berbagai macam genre yang menjadi hobiku, yang sampai saat ini masih dilakukan, aku sadar, mengulas buku di Instagram masih banyak kekurangannya, tapi, pelan-pelan insyaallah akan belajar lebih baik lagi, agar pesan ulasan yang disampaikan bisa dipahami bukan untukku saja, akan tetapi bagi orang-orang yang membacanya, mencoba belajar mengikuti lomba blog traveling stories, nggak menang sih, tetapi, sudah di post di blog mereka saja sudah bahagia, kemudian, mengikuti lomba menulis puisi, meskipun nggak masuk dalam kategori juara 1-3, dan aku berhasil menjadi peringkat 144 dari 200 orang yang mengikuti, aku bersyukur banget bisa masuk dalam kategori itu. Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah, atas kesempatannya.    

    Kalau dipikir-pikir, bukan hanya aku saja yang mengalami Quarter Life Crisis (QLC). Semua orang. Termasuk beberapa temanku, mereka juga sama merasakannya. Memang ya, di usia-usia menjelang 25-an ke atas tuh lumayan menguras tenaga dan pikiran.

    Ada perasaan kepengin juga mencapai suatu keberhasilan seperti yang sudah dilakukan oleh sebagian teman-temanku yang duluan mencapai sebuah kesuksesan, lalu dipajang di sosial media—Instagram. Tetapi, aku mikir lagi, kamu nggak tahu perjuangan apa saja yang sudah dia lakukan, kesedihan apa saja yang sudah dirasakan, kemarahan dan perang batin apa yang sudah dialami. Kesannya kok kayak jahat banget, ya? Iri sama sesuatu, padahal diri sendiri pun nanti akan mendapatkannya, meskipun dengan hal yang berbeda, tinggal menunggu waktu saja.

    Berkontemplasi lagi. Sudah, Tan, jangan memikirkan kesuksesan orang lain. Kamu juga berhak sukses. Tuhan tidak tidur. Kerja keras, kerja cerdas, dan sabar menjadi kata penguat dalam hidupku. Memang, tidak mudah dalam aksi nyatanya. Tapi, nggak masalah, pelan-pelan dicoba, dan yang terpenting sudah bisa menemukan diri sendiri dan tahu mau dibawa ke mana diri ini melangkah ke depannya.

    Jujur, menemukan dan berdamai dengan diri sendiri itu lumayan sulit. Panjang banget prosesnya, sampai bisa menerima dengan lapang dada.

     Kalau saja ya, standar masyarakat tidak memberlakukan perempuan dan laki-laki yang tidak mengikuti aturan yang terjadi, dan mengaharuskan sama dengan yang lainnya, ambil contoh di desaku, ya: perempuan usia 25 ke atas belum menikah, asli itu ditanya terus-menerus, sampai bosan jawabnya, laki-laki, kamu kuat, nggak boleh menangis, padahal laki-laki juga berhak menangis. Sempat waktu itu kasih edukasi ke mereka, tahu jawabannya apa? Ya, perempuan di usia 25 harus menikah, terus punya anak, urus suami, nggak boleh ke mana-mana, diam saja di rumah, laki-laki harus mencari nafkah, dan memberikannya kepada istri dan anak. Kemudian, aku gemas, dan menyanggah lagi, semua hal di dunia ini; rezeki, kehidupan, kematian, dan jalan kesuksesan orang itu berbeda, nggak akan sama hasilnya. Terus, perempuan dan laki-laki bisa lho untuk saling kerja sama tidak hanya dalam membina rumah tangga, tapi, dalam banyak hal, berkarya, bekerja  di kantor, membuka usaha untuk menciptakan lapangan kerja, berusaha untuk saling intinya, bukan paling. Itu lebih enak. Lalu, mereka tidak membantahnya lagi, langsung diam dong. Berhasil dong, ya? hehehe, Alhamdulillah. Kalau misalkan sekarang aku dapat pertanyaan itu lagi, ya sudah kujawab dengan, “besok, tolong doain, ya.” Sebab kalau berdebat lagi, nanti akan lebih panjang, dan bersyukurnya bisa lebih mengelola emosi, dan mengendalikan diri dengan baik. Aku sebagai manusia, nggak bisa mencegah apa yang ingin orang-orang tanyakan, tetapi, aku hanya bisa mengontrol  diri, dan jangan menyampaikan kembali dengan pertanyaan yang sama dan sifatnya privasi.

   Aku percaya, kita, perempuan dan laki-laki mempunyai keunikan dan kekurangannya masing-masing. Tinggal bagaimana diri ini mau dibawa ke arah mana. Dan, kalau misalkan sudah tahu dengan arah yang dipilih, menghargai dengan plilihan yang diambilnya, jangan menghakimi. Sebab, seperti yang tadi kubilang di atas, kita tidak pernah tahu perjuangan apa yang sudah dilakukannya.

    Orang-orang menyembuhkan dan bangkit dari Quarter Life Crisis (QLF) banyak banget caranya. Ada macam-macam. Aku nggak bisa menyebutkannya, karena cara penyembuhan Cuarter Life Crisis (QLF) setiap orang berbeda-beda.

    Kalau aku, dari membaca 3 buku judul di atas. Mungkin, bagi sebagian orang, akan bertanya, “kok bisa dari buku? Padahal banyak pengalihan lainnya?” jawabanku, tetap sama, sekali lagi, setiap orang berbeda-beda dalam menyembuhkannya.

    Kalau kamu sedang mengalami Quarter Life Crisis (QLC) dan membaca blog ini. Tenang, kamu nggak sendirian. Yuk, bangkit dari keterpurukan, dan bersahabat baik dengan diri sendiri terlebih dahulu. Aku yakin, kamu pasti bisa. Semangat!