Banyak
buku self improvement yang membahas
tentang Quarter Life Crisis, di antaranya karya dari Kak Alvi Syahrin yang
judulnya Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-apa, Filosofi Teras karya dari Om Henry
Manampiring, Lo Ngerti Siapa Gue karya dari Sophia Mega. Tentunya mereka punya
pendefinisian tersendiri. Setelah membaca karya dari mereka, aku mau
menyimpulkan kalau Quarter Life Crisis (CLF) adalah suatu kejadian yang semua
orang pernah mengalaminya. Kejadiannya apa saja sih? Banyak. Aku coba
menguraikan beberapa sesuai pemahamanku, ya. Kebingungan dalam memilih, berlaku
dalam hal apa pun, misalnya bingung mau bekerja sesuai pasion atau ikuti saja
sesuai dengan background pendidikan semasa kuliah, SMA, bingung memilih jurusan
kuliah, bingung mau mengambil kuliah atau bekerja dulu, dan masih banyak lagi,
insekyur dengan teman-teman yang sudah lebih dulu meraih kesuksesannya,
insekyur dengan kondisi tubuh yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku
di masyarakat, dan tidak tahu mau dibawa ke mana diri ini sebenarnya.
Jangan salah, aku pun pernah mengalami Quarter
Life Crisis (CLF) tersebut. Sempat hilang arah di masa memasuki dunia
perkuliahan, dan setelah lulus dari sana, kemudian, di tempat bekerja pun
mengalaminya, pokoknya bingung saja gitu mau mulainya dari mana. Aku melakukan
rutinitas setiap hari seperti pada umumnya orang-orang lakukan, namun, hati dan
pikiranku entah ke mana—kosong. Akhirnya salah satu hal yang harus kutempuh
yaitu meminta tolong sama Tuhan, supaya dapat jawaban. Berhasil? Alhamdulillah,
iya. Namun, nggak langsung hari itu juga, butuh proses lama, sekitar 3 tahunan
lebih. Mau tahu jawaban yang dikasih Tuhan apa? Lewat buku dari mereka yang
sudah kusebutkan tadi di atas. Aku baca bukunya, pelan-pelan dipraktikin,
Alhamdulillah bisa bangkit dari itu semua. Tadinya, aku menjadi seseorang yang
tidak percaya diri ketika melakukan sesuatu, salah satunya mengunggah foto
ataupun karya di sosial media, pikiran jahatku membisiki, “fotonya nggak
pantas-lah, badannya berisi, kok yang kasih tombol like sedikit banget, nggak
jadi unggah karya deh, nanti takut banyak yang nggak suka, nanti dibilang pamer
terus, halah foto apaan kayak gitu, mending simpan saja deh di galeri hp-mu.”
Jahat banget ya, pikiran diri sendiri tuh. Sama jahatnya dengan mengambil
kebahagiaan orang lain. Dan, aku nggak mau berlama-lama bersahabat dengan
pikiran jahatku. Sampai suatu ketika, aku berani untuk mengunggah foto pribadi
di Instagram, perjalanan traveling, berani mengulas buku bacaan berbagai macam
genre yang menjadi hobiku, yang sampai saat ini masih dilakukan, aku sadar,
mengulas buku di Instagram masih banyak kekurangannya, tapi, pelan-pelan
insyaallah akan belajar lebih baik lagi, agar pesan ulasan yang disampaikan
bisa dipahami bukan untukku saja, akan tetapi bagi orang-orang yang membacanya,
mencoba belajar mengikuti lomba blog traveling stories, nggak menang sih,
tetapi, sudah di post di blog mereka saja sudah bahagia, kemudian, mengikuti
lomba menulis puisi, meskipun nggak masuk dalam kategori juara 1-3, dan aku
berhasil menjadi peringkat 144 dari 200 orang yang mengikuti, aku bersyukur
banget bisa masuk dalam kategori itu. Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah,
atas kesempatannya.
Kalau
dipikir-pikir, bukan hanya aku saja yang mengalami Quarter Life Crisis (QLC).
Semua orang. Termasuk beberapa temanku, mereka juga sama merasakannya. Memang ya,
di usia-usia menjelang 25-an ke atas tuh lumayan menguras tenaga dan pikiran.
Ada
perasaan kepengin juga mencapai suatu keberhasilan seperti yang sudah dilakukan
oleh sebagian teman-temanku yang duluan mencapai sebuah kesuksesan, lalu
dipajang di sosial media—Instagram. Tetapi, aku mikir lagi, kamu nggak tahu
perjuangan apa saja yang sudah dia lakukan, kesedihan apa saja yang sudah
dirasakan, kemarahan dan perang batin apa yang sudah dialami. Kesannya kok
kayak jahat banget, ya? Iri sama sesuatu, padahal diri sendiri pun nanti akan
mendapatkannya, meskipun dengan hal yang berbeda, tinggal menunggu waktu saja.
Berkontemplasi
lagi. Sudah, Tan, jangan memikirkan kesuksesan orang lain. Kamu juga berhak
sukses. Tuhan tidak tidur. Kerja keras, kerja cerdas, dan sabar menjadi kata
penguat dalam hidupku. Memang, tidak mudah dalam aksi nyatanya. Tapi, nggak
masalah, pelan-pelan dicoba, dan yang terpenting sudah bisa menemukan diri
sendiri dan tahu mau dibawa ke mana diri ini melangkah ke depannya.
Jujur,
menemukan dan berdamai dengan diri sendiri itu lumayan sulit. Panjang banget
prosesnya, sampai bisa menerima dengan lapang dada.
Kalau
saja ya, standar masyarakat tidak memberlakukan perempuan dan laki-laki yang
tidak mengikuti aturan yang terjadi, dan mengaharuskan sama dengan yang
lainnya, ambil contoh di desaku, ya: perempuan usia 25 ke atas belum menikah,
asli itu ditanya terus-menerus, sampai bosan jawabnya, laki-laki, kamu kuat,
nggak boleh menangis, padahal laki-laki juga berhak menangis. Sempat waktu itu
kasih edukasi ke mereka, tahu jawabannya apa? Ya, perempuan di usia 25 harus
menikah, terus punya anak, urus suami, nggak boleh ke mana-mana, diam saja di
rumah, laki-laki harus mencari nafkah, dan memberikannya kepada istri dan anak.
Kemudian, aku gemas, dan menyanggah lagi, semua hal di dunia ini; rezeki,
kehidupan, kematian, dan jalan kesuksesan orang itu berbeda, nggak akan sama
hasilnya. Terus, perempuan dan laki-laki bisa lho untuk saling kerja sama tidak
hanya dalam membina rumah tangga, tapi, dalam banyak hal, berkarya,
bekerja di kantor, membuka usaha untuk
menciptakan lapangan kerja, berusaha untuk saling intinya, bukan paling. Itu
lebih enak. Lalu, mereka tidak membantahnya lagi, langsung diam dong. Berhasil
dong, ya? hehehe, Alhamdulillah. Kalau misalkan sekarang aku dapat pertanyaan
itu lagi, ya sudah kujawab dengan, “besok, tolong doain, ya.” Sebab kalau
berdebat lagi, nanti akan lebih panjang, dan bersyukurnya bisa lebih mengelola
emosi, dan mengendalikan diri dengan baik. Aku sebagai manusia, nggak bisa
mencegah apa yang ingin orang-orang tanyakan, tetapi, aku hanya bisa mengontrol
diri, dan jangan menyampaikan kembali
dengan pertanyaan yang sama dan sifatnya privasi.
Aku
percaya, kita, perempuan dan laki-laki mempunyai keunikan dan kekurangannya
masing-masing. Tinggal bagaimana diri ini mau dibawa ke arah mana. Dan, kalau
misalkan sudah tahu dengan arah yang dipilih, menghargai dengan plilihan yang
diambilnya, jangan menghakimi. Sebab, seperti yang tadi kubilang di atas, kita
tidak pernah tahu perjuangan apa yang sudah dilakukannya.
Orang-orang
menyembuhkan dan bangkit dari Quarter Life Crisis (QLF) banyak banget caranya.
Ada macam-macam. Aku nggak bisa menyebutkannya, karena cara penyembuhan Cuarter
Life Crisis (QLF) setiap orang berbeda-beda.
Kalau
aku, dari membaca 3 buku judul di atas. Mungkin, bagi sebagian orang, akan
bertanya, “kok bisa dari buku? Padahal banyak pengalihan lainnya?” jawabanku,
tetap sama, sekali lagi, setiap orang berbeda-beda dalam menyembuhkannya.
Kalau
kamu sedang mengalami Quarter Life Crisis (QLC) dan membaca blog ini.
Tenang, kamu nggak sendirian. Yuk, bangkit dari keterpurukan, dan bersahabat
baik dengan diri sendiri terlebih dahulu. Aku yakin, kamu pasti bisa. Semangat!